Aiming perfection might kill you

perfection-based-on-possibilities-18-638

Being a perfectionist sucks. Dalam mengerjakan sesuatu, memuaskan memang jika hasil yang kita capai sesuai dengan apa yang kita inginkan. Tapi kalau mengharapkan kesempurnaan dari orang lain?

Saya bertanya ke beberapa teman tentang makna kesempurnaan.

Seorang teman bilang kalau kesempurnaan itu cuma ada secara menyeluruh. Menurutnya, seluruh manusia di dunia itu sempurna bila digabungkan. Namun keseluruhan itu dipecah-pecah menjadi tiap individu yang tidak sempurna satu sama lain.

Lagipula, mana ada manusia tanpa celah?

Kata teman yang lain, kita tidak akan pernah berhenti di satu titik jika terus mencari kesempurnaan. Setiap orang pasti tidak sempurna. Tapi kalau kita mencintai seseorang, maka orang itu akan sempurna di mata kita. Dan itu cukup.

Menurut Sri Chinmoy, “Complete and total perfection will come about only when we feel that our perfection is no perfections as long as the rest of humanity remains imperfect.”

18882e4798aacf37b4f08bead2847d52

Castro-Fornieles et al. (2007) mendefiniskan perfeksionisme sebagai kepribadian yang cenderung menempatkan penekanan berlebihan pada ketelitian dan keteraturan, pengaturan untuk berjuang pada standar diri yang tidak realistis, evaluasi diri dalam bentuk kritik jika standar tersebut tidak tercapai, kekhawatiran berlebihan terhadap kesalahan, dan keraguan terhadap kualitas pencapaian diri.

Perfeksionisme terbagi dalam dua bentuk, adaptif dan maladaptif.

Stoltz & Ashby (2007) menjelaskan, perfeksionisme adaptif bisa dikategorikan sebagai normal dan tipe yang sehat. Sedangkan, perfeksionisme maladaptif merupakan kebutuhan untuk mengontrol lingkungan sekitarnya. Bahkan bila sesuatu berjalan tidak sesuai rencana, orang dengan sifat perfeksionisme maladaptif akan mengeluarkan sikap negatif. Duh.

Adapun, perfeksionisme ini memiliki pengaruh signifikan dalam hubungan.

Lalu saya menemukan tulisan seorang psikolog klinis. Di situ disebut bahwa kesempurnaan berarti menerima fakta bahwa kita hidup di dunia yang sempurna dalam ketidaksempurnaan. Kualitas yang sempurna itu hanya ada pada gagasan, ide, aspirasi, serta nilai.

Sementara, menetapkan standar sempurna adalah sebuah paradoks. Semakin kita menginginkan hasil yang sempurna, semakin kita membuat diri kita merasa gagal.

Kita tidak bisa selalu memiliki kontrol atas situasi yang menimpa. Pasti ada masa kita merasa senang, sedih, kesal, kecewa, dan sebagainya. Ya.. dinikmati saja.

Lalu saya diingatkan, “Enggak perlu mencari sosok yang sempurna. Tapi hubungan lo sempurna,” kata seorang teman.

It’s killing me now.

Leave a comment